Beranda / Sosial Budaya / Jika Menteri Mengajar, Apakah Nilai TKA Akan Membaik?

Jika Menteri Mengajar, Apakah Nilai TKA Akan Membaik?

Jika Menteri Mengajar, Apakah Nilai TKA Akan Membaik?

Kalabahi, Alor News — Pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, yang dalam sejumlah pemberitaan nasional menyebut rendahnya hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) mata pelajaran Matematika sebagai akibat “cara mengajar guru yang masih buruk”, memicu pertanyaan yang lebih tajam dari para pendidik: Jika menteri sendiri turun mengajar, apakah nilai TKA otomatis akan membaik?

Pertanyaan ini bukan sekadar sindiran. Ia mencerminkan kegelisahan banyak guru yang merasa diposisikan sebagai pihak yang harus menanggung beban kegagalan sistem pendidikan, sementara faktor struktural dan berbagai faktor lainnya nyaris tak dibahas.

Menyalahkan Guru, Mengabaikan Sistem

Rendahnya nilai TKA tidak bisa dilepaskan dari banyak faktor yang saling berkaitan. Guru memang berperan langsung dalam proses pembelajaran, tetapi mereka bukan satu-satunya penentu. Ketika nilai anjlok secara nasional, jelas ada persoalan sistemik yang jauh lebih besar, mulai dari kurikulum yang berubah terlalu cepat, desain asesmen yang tidak selaras, ketimpangan fasilitas antardaerah yang membuat kualitas pembelajaran tidak merata hingga distribusi dan upaya peningkatan kompetensi guru di daerah yang kurang mendapat perhatian.

Tidak dipungkiri bahwa masih banyak guru yang belum dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik, baik karena kurangnya pelatihan yang memadai, terbatasnya pendampingan profesional, maupun minimnya fasilitas pendukung. Namun, kekurangan ini merupakan konsekuensi dari sistem yang tidak memberikan dukungan kuat bagi guru untuk berkembang, bukan semata kelemahan individu. Guru yang bekerja dalam kondisi serba terbatas tidak mungkin menghasilkan kualitas pembelajaran yang sama dengan guru yang mendapat dukungan lengkap dari negara.

Di luar sekolah, peran keluarga dan masyarakat juga sangat menentukan kualitas belajar siswa. Tanpa dukungan lingkungan rumah yang kondusif, kontrol penggunaan gawai, pendampingan belajar, dan pola asuh yang mendukung disiplin, kebiasaan belajar yang dibangun guru di sekolah sering kali tidak berlanjut di rumah. Demikian pula masyarakat yang kurang memberi ruang aman, motivasi, dan teladan positif bagi anak-anak akan berdampak pada kemampuan akademik mereka.

Karena itu, menyalahkan guru secara sepihak hanya mempersempit persoalan dan mengabaikan kenyataan bahwa pendidikan adalah kerja kolektif seluruh ekosistem, pemerintah, sekolah, guru, keluarga, dan masyarakat.

Kurikulum vs Soal TKA: Apakah Sinkron?

Banyak pendidik mempertanyakan apakah soal TKA benar-benar sesuai dengan kurikulum yang diajarkan di kelas? Jika tidak, maka wajar bila banyak siswa kesulitan. Dalam berbagai tes nasional sebelumnya pun, masalah ketidaksesuaian materi sering muncul, terutama ketika terjadi pergantian kebijakan kurikulum secara cepat.

Kalau menteri pun ikut mengajar di kelas tetapi soal ujian tidak klop dengan materi, hasilnya tetap akan sama, siswa akan kesulitan.

Guru Terbebani, Fasilitas Tidak Merata

Kondisi guru di lapangan sangat beragam. Di kota besar, akses terhadap pelatihan dan perangkat belajar relatif lebih baik. Namun di daerah, terutama wilayah kepulauan seperti NTT, Papua Pegunungan, dan beberapa daerah terpencil lainnya tantangannya jauh berbeda, keterbatasan sumber belajar, jaringan internet tidak stabil, rasio guru–siswa tidak ideal, dan beban administrasi yang berat.

Dengan kondisi seperti ini, menyalahkan guru atas merosotnya nilai TKA adalah sikap yang tidak sensitif terhadap realitas lapangan.

Baca Juga:
Ketika Rumah Hilang Peran, Sekolah Menanggung Beban
Menggugat Keadilan untuk Guru Honorer Swasta

Kalau Menteri Mengajar, Apa yang Akan Berubah?

Logikanya sederhana.

Nilai TKA tidak akan membaik hanya karena satu orang, bahkan ketika seorang menteri mengajar di kelas. Peningkatan nilai hanya akan terjadi jika:

  • kurikulum diperbaiki dan distabilkan,
  • soal TKA diselaraskan dengan pembelajaran,
  • pelatihan guru bersifat berkelanjutan,
  • fasilitas merata di seluruh daerah,
  • beban administrasi guru dikurangi,
  • pembuat kebijakan siap mendengar suara guru,
  • peran keluarga diperkuat, karena kebiasaan belajar, disiplin, dan dukungan emosional anak paling banyak dibentuk di rumah, dan
  • lingkungan masyarakat ikut terlibat, menciptakan ruang aman dan budaya yang mendorong anak untuk belajar, bukan sebaliknya.

Karena itu, yang perlu dibenahi bukanlah hanya individu guru, tetapi desain sistem pendidikan secara keseluruhan. Jika sistemnya tetap sama, hasilnya juga akan tetap sama.

Saatnya Pemerintah Melihat Masalah Secara Jernih

Pernyataan seorang menteri bisa memengaruhi arah diskusi pendidikan nasional. Oleh sebab itu, pernyataan publik sebaiknya berfungsi membangun, bukan menyalahkan.

Ketika nilai TKA turun, pertanyaan kritis yang seharusnya muncul adalah:

  • Apakah desain asesmen sudah tepat?
  • Apakah kurikulum sesuai dengan kebutuhan?
  • Apakah pelatihan guru sudah efektif?
  • Apakah fasilitas pendidikan sudah merata?
  • Bagaimana peran keluarga dan lingkungan?

Menempatkan guru sebagai kambing hitam bukan hanya tidak strategis, tetapi juga kontraproduktif. Tanpa guru yang termotivasi dan dihargai, tidak ada reformasi pendidikan yang bisa berhasil.

Penutup

Pertanyaan “Jika menteri jadi guru, apakah nilai TKA akan membaik?” bukanlah pertanyaan sinis. Ini adalah pengingat bahwa kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh kualitas kebijakan dan keberpihakan pemerintah kepada guru dan sekolah dengan membangun system pendidikan yang baik.

Guru adalah bagian dari solusi, bukan penyebab masalah. Yang perlu dibenahi adalah sistemnya, bukan dengan menyudutkan orang-orang yang bekerja keras di dalamnya.

Penulis: Hadi Kammis | Editor: Tim Redaksi Alor News

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *