Home / Sosial Budaya / Jejak Perjuangan Santri: Dari Resolusi Jihad hingga Harmoni Pluralisme

Jejak Perjuangan Santri: Dari Resolusi Jihad hingga Harmoni Pluralisme

Oleh: Hadi Kammis – Kepala Seksi Pendidikan Islam Kemenag Kab. Alor

Santri dan Sejarah Perjuangan Nasional

Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional, sebuah momentum untuk mengenang peran besar santri dan ulama dalam mempertahankan kemerdekaan. Namun, lebih dari sekadar peringatan, Hari Santri adalah refleksi atas nilai-nilai jihad, keikhlasan, dan cinta tanah air yang telah melekat dalam jiwa santri sejak awal berdirinya republik ini.

Sejarah mencatat, pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, mengeluarkan Resolusi Jihad yang menyerukan kewajiban umat Islam untuk membela tanah air dari penjajahan. Seruan ini membakar semangat perjuangan rakyat, terutama para santri di Surabaya dan sekitarnya. Dari masjid-masjid, surau, hingga pesantren, gema takbir dan seruan jihad berkumandang memanggil rakyat untuk bangkit melawan penjajah.
Di tengah kobaran semangat itu, muncul sosok Bung Tomo — orator muda yang suaranya mengguncang langit Surabaya. Dengan lantang ia menyerukan bahwa “Allahu Akbar!” bukan sekadar pekik, melainkan nyala keberanian dan keimanan. Suara Bung Tomo, didukung oleh Resolusi Jihad para ulama, menyulut perlawanan rakyat 10 November 1945, menjadikan Surabaya lautan api, dan mencatatkan sejarah bahwa santri, ulama, dan rakyat berjuang seirama mempertahankan kemerdekaan.

Penetapan Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 menjadi bentuk pengakuan negara atas kontribusi santri dan pesantren. Tapi maknanya tidak berhenti pada seremoni tahunan. Hari Santri seharusnya menjadi pengingat bahwa santri bukan sekadar pelajar agama, melainkan pionir moral bangsa, penjaga nilai, dan penggerak peradaban.

Konteks Lokal, Pluralisme, dan Kontribusi Moral

Di tengah arus globalisasi dan krisis moral yang kian terasa, semangat santri perlu dihidupkan kembali dalam bentuk “jihad moral” — perjuangan melawan kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Jika dulu santri mengangkat bambu runcing, kini santri harus mengangkat pena, ilmu, dan akhlak untuk memperjuangkan kebenaran serta kemanusiaan.

Dalam konteks Alor, semangat Hari Santri menemukan maknanya yang khas. Daerah kepulauan ini dikenal dengan pluralisme budaya, agama, dan adat istiadat yang hidup berdampingan dalam harmoni. Di tengah keberagaman tersebut, nilai-nilai pesantren seperti toleransi, persaudaraan, dan gotong royong menjadi jembatan yang menguatkan persatuan.

Santri di Alor yang terdiri dari para pelajar pondok pesantren, Madrasah Diniyah, TPQ/TPA, dan para siswa madrasah serta lembaga pendidikan islam, hadir bukan untuk memisahkan, melainkan untuk menyatukan nilai-nilai keagamaan dengan kearifan lokal dalam kehidupan sosial, yakni menjadikan ajaran Islam sebagai kekuatan moral yang memperkuat persaudaraan antarumat beragama, memperkokoh persatuan masyarakat, dan memperindah kebudayaan lokal yang sudah penuh nilai kemanusiaan.

Dengan demikian, semangat santri di Alor tidak menegasikan perbedaan, tetapi merawatnya sebagai rahmat yang memperkaya kehidupan bersama.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”

Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan adalah bagian dari kehendak Ilahi, dan takwa menjadi ukuran utama kemuliaan manusia, bukan asal-usul, suku, atau agama. Semangat inilah yang menjiwai Hari Santri — menjadikan iman sebagai dasar perjuangan, ilmu sebagai senjata, dan persaudaraan sebagai jalan membangun Indonesia yang damai, termasuk di Alor yang majemuk dan penuh berkat.

Pada akhirnya, memaknai Hari Santri tidak cukup hanya dengan upacara seremonial atau perayaan formal. Lebih dari itu, nilai-nilai jihad, ilmu, dan persaudaraan harus dihidupkan dalam keseharian — melalui pendidikan, pengajaran, pengabdian sosial, dan upaya merawat kerukunan. Dengan begitu, semangat santri benar-benar menjadi penggerak moral bangsa, termasuk di Alor yang majemuk dan penuh berkah.***

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *