Beranda / Wisata / Cerita Rakyat Alor – Pantar: Kisah Banjir Besar dan Kerajaan yang Hilang

Cerita Rakyat Alor – Pantar: Kisah Banjir Besar dan Kerajaan yang Hilang

Cerita Rakyat Alor

Kalabahi, Alor News – Sejarah Alor Pantar tidak hanya tersimpan dalam naskah kuno atau arsip kolonial. Banyak desa pesisir menyimpan sejarah yang terus hidup melalui kisah-kisah lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebuah penelitian lapangan pada 2018–2021 oleh Yunus Sulistyono, peneliti dari Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Pusat Linguistik Universitas Leiden, menyingkap kembali mozaik sejarah orang Alor melalui wawancara dengan tetua adat di 14 desa.

Penelitian terhadap para tetua di 14 desa pada sepanjang pesisir Alor–Pantar (Kangge, Marica, Beang Onong, Baranusa, Wailawar, Helandohi, Pandai, Bana, Munaseli, Pulau Buaya, Ternate, Alor Besar, Alor Kecil, dan Dulolong), ini mengungkap bagaimana masyarakat Alor memahami masa lalu mereka, mulai dari kisah banjir besar, kerajaan yang hilang, kedatangan orang Jawa, hingga perang besar antara Munaseli dan Pandai. Semua narasi itu membentuk identitas masyarakat Alor hingga hari ini.

Setiap desa menyimpan versi ceritanya sendiri, ada tuturan di beranda rumah adat, dalam upacara-upacara adat, dan ada juga melalui syair-syair tua. Namun dari berbagai sudut cerita itu, muncul pola yang saling menguatkan tentang bagaimana masyarakat Alor memahami asal-usul mereka, dari banjir besar, perpindahan leluhur, kejayaan kerajaan pesisir, hingga hubungan dengan Jawa dan Malaka.

Banjir Besar Pulau Rusa

Salah satu kisah paling kuat adalah legenda tentang tenggelamnya sebuah kerajaan di Pulau Rusa, pulau kecil di barat Pantar.

Tetua adat di Marica, Alor Kecil, dan Baranusa menggambarkan kejadian serupa. Air laut naik sangat tinggi, menenggelamkan kerajaan Koli Rawang pimpinan tokoh legendaris Raja Lapi Loma. Dalam cerita, sebagian warga menyelamatkan diri dengan berjalan kaki dari Pulau Rusa menuju Pantar, seolah dua pulau itu dahulu tersambung.

Sampai hari ini, warga yang pergi berburu di Pulau Rusa mengaku masih melihat reruntuhan bangunan tua, menambah kuat keyakinan akan adanya kerajaan yang hilang.

Legenda ini juga mirip dengan kisah dari Lembata dan Flores Timur tentang banjir Lepan-Batang, menunjukkan bahwa cerita ini telah hidup di seluruh kawasan Lamaholot.

Dua Bayi Leluhur: Helan dan Dohi

Di Helandohi, pegunungan Pantar timur laut, tetua adat menceritakan kisah dua bayi, Helan dan Dohi, yang ditemukan setelah banjir besar. Masyarakat Alor di pesisir timur laut meyakini kedua anak tersebut sebagai nenek moyang mereka.

Perjanjian adat “Helang anang, Dohi anang” masih diakui lima desa, yaitu Helandohi, Wailawar, Pandai, Bana, dan Munaseli. Desa-desa pesisir dianggap “anak” Helandohi, tempat asal para leluhur.

Jejak Majapahit di Alor Pantar

Sejumlah narasi lisan dari Pandai, Baranusa, dan Alor Besar menyebut kedatangan rombongan dari Jawa terjadi sekitar abad ke-14, yang dalam ingatan kolektif masyarakat setempat sering dihubungkan dengan masa kejayaan Majapahit. Dalam tradisi tutur, kedatangan orang-orang Jawa ini dipandang sebagai fondasi awal beberapa marga yang kini memiliki posisi penting dalam struktur sosial Alor.

Cerita tuturan para tetua adat kerap mengandung unsur mitologis. Dalam beberapa versi, leluhur Alor digambarkan berasal dari pertemuan dua dunia, seorang perempuan yang pada mulanya berwujud ikan atau elang, ditemukan oleh dua bersaudara yang datang dari Jawa. Perempuan itu kemudian berubah menjadi manusia, menikah, dan melahirkan keturunan yang dipercaya sebagai nenek moyang beberapa komunitas di Alor–Pantar. Meskipun tiap desa memiliki versinya sendiri, pola alurnya tetap sama, yaitu kedatangan figur dari luar yang kemudian menyatu dengan masyarakat lokal.

Walaupun tidak tercatat dalam sumber sejarah formal, jejak pengaruh Jawa—yang oleh sebagian warga diasosiasikan dengan Majapahit—juga tampak dalam toponimi. Di Munaseli terdapat lokasi bernama Java Toda, masyarakat meyakini Java Toda sebagai salah satu titik pendaratan rombongan Jawa dalam perang besar antara Munaseli dan Pandai. Toponim ini tidak muncul dalam catatan akademik, tetapi telah lama hidup sebagai memori kolektif masyarakat dan memperkuat keyakinan bahwa hubungan Alor–Pantar dengan dunia Jawa sudah terjalin sejak masa lampau.

Kejayaan dan Kejatuhan Kerajaan Munaseli

Di ujung timur laut Pantar, Kerajaan Munaseli pernah berdiri sebagai salah satu pusat kekuasaan paling berpengaruh di kawasan Alor–Pantar. Cerita para tetua menggambarkan kerajaan ini sebagai negeri makmur yang padat penduduk, tanah subur, dan jalur perdagangan laut yang sibuk. Dalam narasi lisan, kemakmuran Munaseli sering digambarkan lewat simbol seekor ayam jantan sakti, disebut manusiri koko dalam tuturan masyarakat – yang ketika berkokok akan mengeluarkan emas, penanda kekayaan dan kejayaan yang sulit ditandingi desa-desa sekitarnya.

Namun kemuliaan ini perlahan memicu kecemburuan. Di pasar Bana, tempat pedagang-pedagang Munaseli dan Pandai saling bertemu, konflik muncul dari ejekan kecil. Orang Pandai yang membawa garam dan ikan mendapat ejekan dari para pedagang Munaseli yang membawa emas. Saling hina ini kemudian berubah menjadi bara permusuhan yang membesar.

Perang pun tak dapat terhindar. Menurut cerita Bana, Wailawar, dan Pandai, pasukan Munaseli menghadapi kekuatan gabungan Pandai yang dibantu sekutu dari Jawa, Kedang, dan Atauro. Pertempuran berlangsung sengit, berlangsung selama beberapa generasi, hingga akhirnya Munaseli mengalami kekalahan besar sekitar tahun 1420.

Versi yang beredar luas di kalangan masyarakat Alor, menyebut bahwa salah satu titik pendaratan pasukan Jawa berada di lokasi Java Toda. Lokasi ini terletak di Desa Munaseli sebagai saksi sejarah kedatangan armada Jawa pada masa perang besar antara Munaseli dan Pandai. Meskipun tidak tercatat dalam penelitian akademik ini, toponim Java Toda telah lama hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Alor dan menjadi bagian penting dari narasi sejarah lisan di Alor.

Kekalahan itu tidak hanya menghentikan kejayaan kerajaan, tetapi juga mengubah peta permukiman di kawasan itu. Sebagian besar masyarakat Munaseli mengungsi ke berbagai wilayah di Pantar barat dan Alor, menyebarkan cerita tentang keruntuhan kerajaan yang dulu mereka banggakan.

Dari Pandai ke Bungabali

Kemenangan Pandai atas Munaseli menjadi titik balik besar dalam sejarah pesisir Alor–Pantar. Setelah perang berakhir, para pemimpin Pandai tidak hanya mempertahankan wilayahnya, mereka memperluas pengaruhnya ke seluruh kawasan selat.

Gelombang perluasan itu tampak jelas dalam ingatan kolektif masyarakat:

1. Alor Besar – Lahirlah Kerajaan Bungabali
Dari pesisir Pandai, para leluhur menyeberangi selat menuju semenanjung Alor. Di sana mereka mendirikan Kerajaan Bungabali, yang kelak menjadi pusat politik dan keagamaan penting dalam sejarah Alor. Banyak marga di Alor Besar hingga kini mengakui garis keturunan yang berakar dari Pandai.

2. Baranusa – Munculnya Pusat Kerajaan Baru di Pantar Barat
Pengaruh Pandai juga bergerak ke barat, menjangkau Baranusa. Di tempat inilah tumbuh salah satu kerajaan terbesar di Pantar, dan menjadi pusat perdagangan yang ramai. Kerajaan Baranusa menjadi simbol kuatnya jaringan maritim yang dikembangkan oleh keturunan Pandai.

3. Pulau Ternate dan Pulau Buaya – Jejak Migrasi dan Perpaduan Budaya
Tidak berhenti di daratan besar, migrasi leluhur Pandai juga mencapai pulau-pulau kecil seperti Ternate dan Buaya. Di tempat ini mereka hidup berdampingan dengan masyarakat Reta, penutur bahasa non-Austronesia, memperlihatkan betapa dinamis dan terbuka hubungan antarkelompok di kawasan Alor–Pantar.

Perluasan ke Bungabali, Baranusa, dan pulau-pulau kecil ini menunjukkan bahwa setelah tumbangnya Munaseli, Pandai menjelma menjadi kekuatan maritim yang menghubungkan banyak desa, pulau, dan budaya dalam satu jaringan sejarah yang masih terasa hingga hari ini.

Sejarah Lisan sebagai Cermin Identitas

Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Alor memiliki tradisi sejarah lisan yang kaya dan terstruktur. Meski berbeda versi antar desa, narasi-narasi ini memuat pola yang sama, yaitu:

  • Adanya banjir besar yang mengubah geografi pulau.
  • Migrasi leluhur dari pulau ke pulau.
  • Perkembangan kerajaan-kerajaan lokal.
  • Kedatangan pendatang dari luar (Jawa, Malaka, Atauro).
  • Perang dan aliansi antar komunitas.

Bagi masyarakat Alor, sejarah lisan bukan sekadar cerita, tetapi bagian dari identitas dan memori kolektif yang menentukan siapa mereka hari ini.

Pada akhirnya, himpunan kisah-kisah dari Munaseli, Pandai, Helandohi, Baranusa, hingga Alor Besar menunjukkan bahwa sejarah Alor–Pantar tidak berdiri di ruang hampa. Ia tumbuh dari ingatan orang-orang yang menjaga cerita leluhur, dari pulau ke pulau, melalui syair, pantun, dan upacara adat. Sejarah lisan ini mungkin berbeda dengan catatan kolonial atau penelitian akademik, tetapi ia merekam cara masyarakat Alor memahami dirinya, menafsirkan masa lalu, dan merawat hubungan dengan para leluhur. Di tengah perubahan zaman, kisah-kisah inilah yang menjaga jati diri orang Alor—sebuah warisan hidup yang terus berdenyut di antara ombak, kampung-kampung pesisir, dan puncak-puncak batu Pantar yang sunyi.

Oleh: Redaksi Alor News

Disclaimer

Artikel ini disusun berdasarkan hasil penelitian ilmiah yang dipublikasikan di jurnal akademik. Sebagian informasi masih memerlukan verifikasi tambahan melalui dokumen resmi dan catatan sejarah daerah.
Redaksi Alor News berkomitmen menjaga akurasi informasi dan terbuka terhadap koreksi atau penambahan data dari pembaca dan peneliti lokal.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *