Kalabahi, Alor News — Kasus kepala sekolah di Banten yang menampar siswanya kembali membuka luka lama dalam dunia pendidikan kita. Publik dengan cepat menghakimi, menuding, dan menyorot guru seolah pelaku tunggal kekerasan di sekolah. Tetapi sedikit yang mau bertanya: apa yang sebenarnya melahirkan tindakan itu? Apakah sekadar emosi sesaat, atau akumulasi dari sistem sosial yang kian kehilangan arah?
Kita tentu tidak sedang membenarkan kekerasan. Tidak ada alasan apa pun yang dapat membenarkan tamparan kepada seorang anak. Namun kita juga tidak bisa menutup mata bahwa tindakan guru sering lahir dari situasi yang penuh tekanan — tekanan moral, sosial, dan emosional akibat perilaku siswa yang kian sulit dikendalikan. Dalam banyak kasus, guru justru menjadi korban dari situasi yang mereka tidak ciptakan.
Ketika Rumah Kehilangan Peran
Namun sebelum menuding siapa yang salah, mari kita menengok akar persoalan yang sesungguhnya. Hari ini, banyak orang tua lupa bahwa rumah adalah madrasatul ‘ula — sekolah pertama tempat penenaman karekter dan pembentukan adab. Di sanalah seharusnya anak belajar menghormati, menahan diri, dan memahami batas. Akhlak tidak diajarkan lewat teori, tetapi diteladankan lewat sikap dan perilaku orang tua.
Sayangnya, banyak orang tua kini terlalu sibuk mengejar pekerjaan, hingga lupa bahwa jiwa anak perlu diisi, karakter anak harus dibentuk, dan sopan santun harus dipraktikkan dari rumah. Anak-anak tumbuh dengan segala fasilitas, tapi miskin sentuhan dan teladan. Mereka belajar banyak hal dari gawai, tapi sedikit sekali dari hati orang tuanya sendiri.
Bila di rumah anak terbiasa mendengar bentakan, melihat kebohongan, dan tumbuh tanpa perhatian, maka jangan berharap sekolah mampu mengubah semuanya dalam hitungan jam pelajaran. Namun kenyataannya, ketika rumah kehilangan peran, sekolah dipaksa memikul beban moral yang bukan miliknya. Guru dituntut menjadi segalanya: pendidik, pembimbing, bahkan pengganti orang tua — di tengah anak-anak yang datang tanpa dasar nilai, tanpa sopan santun, dan tanpa arah. Inilah paradoks pendidikan kita hari ini: keluarga abai, guru disalahkan.
Membangun Kolaborasi Guru dan Orang Tua
Guru tidaklah malaikat; mereka manusia biasa yang bisa lelah, marah, dan kecewa. Tapi di tengah segala keterbatasan itu, mereka tetap berjuang menjaga api pendidikan tetap menyala. Ironisnya, di saat mereka tergelincir sedikit saja, publik beramai-ramai menuding tanpa mencoba memahami.
Sekolah dan rumah seharusnya tidak berjalan di dua arah yang berlawanan. Pendidikan hanya akan berhasil bila guru dan orang tua berdiri di jalur yang sama — bukan saling menyalahkan, tetapi saling menguatkan.
UNESCO (2022) dalam laporan Education for All menegaskan bahwa kolaborasi antara keluarga dan sekolah adalah fondasi utama dalam membentuk karakter dan meningkatkan hasil belajar anak. Anak yang menerima nilai yang sama di rumah dan di sekolah akan tumbuh dengan integritas dan empati yang kuat.
Kolaborasi ini bukan sekadar hadir di rapat orang tua murid atau grup WhatsApp sekolah, tetapi dalam kesadaran bersama bahwa pendidikan adalah kerja kolektif membentuk manusia bermartabat. Tanpa itu, sekolah hanya akan menjadi “pemadam kebakaran” bagi api yang seharusnya dijaga agar tak pernah menyala di rumah.
Penutup: Kembalikan Kehormatan Guru dan Tanggung Jawab Keluarga
Sudah saatnya kita berhenti menjadikan guru sebagai kambing hitam atas kegagalan sistem sosial yang rapuh. Sekolah bukan bengkel moral yang bisa memperbaiki semua keretakan karakter bangsa yang telah bermula dari rumah. Pendidikan sejati bermula di rumah — dari orang tua yang hadir, mencintai, dan bertanggung jawab.
Sebelum kita menuntut sekolah melahirkan generasi berakhlak, mari pastikan rumah kembali menjadi tempat anak belajar kasih, hormat, dan tanggung jawab. Sebab jika rumah kehilangan peran, maka sekolah akan terus menanggung beban — beban yang semakin berat, dan suatu hari nanti mungkin sekolah tak sanggup lagi memikulnya.
Oleh: Tim Redaksi Alor News
Refleksi dari Kasus Penamparan Siswa di Banten












