Home / Sosial Budaya / HIV, Bukan Hanya Soal Kesehatan, Tapi Krisis Moral dan Iman

HIV, Bukan Hanya Soal Kesehatan, Tapi Krisis Moral dan Iman

Kalabahi, Alor News — Peningkatan kasus HIV secara nasional menjadi ancaman yang tak boleh diabaikan. Menurut data Kementerian Kesehatan RI (2025), sekitar 564.000 orang Indonesia hidup dengan HIV (ODHIV), dan hanya 63% yang mengetahui statusnya. Saat ini, Indonesia menduduki posisi ke-14 dunia dalam jumlah kasus ODHIV, dan ke-9 untuk infeksi baru, dengan sebagian besar penularan terjadi melalui hubungan seks bebas.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), situasi ini kian mengkhawatirkan. Data terbaru (Februari–September 2025) menunjukkan lonjakan kasus HIV di sejumlah daerah terus meningkat (TVRI NTT, 2025).

Kota Kupang mencatat 2.709 kasus kumulatif dengan 202 kasus baru, sementara Kabupaten Alor mengalami lonjakan signifikan dengan 44 kasus baru. Sumba Timur melaporkan 43 kasus baru, dan Timor Tengah Selatan sebanyak 85 kasus baru. Angka ini menunjukkan bahwa penyebaran HIV terus meluas di seluruh wilayah NTT (BPS NTT, 2025).

Dua Sisi Masalah: Medis dan Moral

Secara nasional, fenomena ini mencerminkan dua persoalan pokok. Pertama, aspek medis, di mana hanya 67% penderita yang menjalani terapi antiretroviral dan 55% di antaranya mencapai supresi virus. Kedua, yang tak kalah penting, adalah persoalan moral dan spiritual. Maraknya pergaulan bebas dan praktik lokalisasi terselubung di berbagai daerah menjadi arena subur bagi penyebaran HIV.

Hasil riset menunjukkan bahwa wanita pekerja seks (WPS) dan remaja mendominasi temuan kasus baru HIV. Studi di Batang, Jawa Tengah mencatat WPS sebagai kelompok terbesar dalam kasus HIV pada 2017 silam. Data Kementerian Kesehatan RI memperkirakan kecenderungan peningkatan penularan melalui sektor prostitusi sebesar 32% (Jurnal Unes, 2021)

Penelitian oleh Universitas Negeri Semarang (2024), menunjukkan bahwa program pencegahan HIV seperti penggunaan kondom 100% belum efektif. Faktor sosial dan ekonomi masih memperkuat perilaku berisiko ini. Kurangnya edukasi kesehatan meningkatkan penularan pada kelompok rentan, seperti IRT (35% kasus baru) dan ibu hamil tanpa intervensi medis (20–45% risiko ke anak).

Namun di balik statistik yang dingin itu, tersembunyi persoalan yang lebih dalam — krisis nilai dan keimanan

Hilangnya Kesadaran Beragama dan Krisis Moral

Selain perilaku berisiko, hilangnya kesadaran beragama menjadi celah besar dalam krisis kemanusiaan ini. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa religiositas berperan signifikan dalam menekan perilaku seksual berisiko tinggi. Studi di Uganda dan Amerika Serikat menemukan bahwa pemuda yang aktif menjalankan praktik keagamaan dan memegang teguh nilai moral keluarga cenderung menunda inisiasi seksual (SpringerLink, 2022).

Penelitian Universitas Indonesia (2023) juga mengungkap bahwa pemahaman agama yang inklusif dapat memperkuat moral dan mendorong perilaku hidup sehat. Mereka yang melihat HIV sebagai ujian, bukan kutukan, lebih cepat mencari pengobatan dan menjaga perilaku hidup sehat. Sebaliknya, ketika masyarakat memaknai agama hanya sebagai sumber hukuman, mereka justru memperdalam stigma dan membuat penderita enggan mencari pertolongan.

Kondisi ini menegaskan bahwa upaya pencegahan HIV harus berjalan seiring dengan pembinaan moral dan spiritual. Arus modernitas yang menormalisasi kebebasan tanpa batas sering kali mengikis nilai tanggung jawab, pengendalian diri, dan akhlak. Ketika iman diabaikan, tubuh tidak hanya melemah karena virus, tetapi juga karena hilangnya kesadaran bahwa menjaga diri merupakan bagian dari ibadah.

Halaman: 1 2

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *